Mereka sudah berpacaran sekian tahun, sempat putus dan membuat 'drama televisi' hingga beberapa musim, lalu kembali pacaran lagi.
Saya dan Tantru berpendapat Dinar belum cukup umur untuk menikah. Padahal, sebenarnya tidak juga. Mungkin karena yang termuda diantara "Geng rasan-rasan" -sebutan kami bertiga, dinar selalu kami anggap anak kecil. Atau mungkin juga kami berusaha menolak kenyataan bahwa Dinar saja sudah dewasa, berarti kami sebenarnya sudah tua.
Beberapa saat kemudian kami kedepan untuk menyambut rombongan keluarga Iko, calon pengantin pria bergerak pelan dari ujung gang kompleks. Melihat pria cengengesan yang selama ini kami kenal mengenakan beskap putih dengan dagu bersih tanpa kumis, rasanya lebih surreal lagi.
Sekelebat sempat berpikir dengan naifnya, Dinar sudah bukan punya kita lagi. Pria inilah yang menjadi prioritas seumur hidupnya. Dan bukan kami lagi. Haha.
Egois dan besar kepala, benar. Tapi kalau kalian berpikir saya tidak bahagia, kalian salah. Saya bahagia. Apalagi setelah sumpah ijab qabul diucap dengan mantap, lalu melihat mereka berdua saat itu. Saya bahkan tidak percaya saya merasa sebahagia ini.
Tidak cukup rasanya saya memberi selamat buat kalian berdua. Semoga kalian bisa saling menerangi dan diterangi.
No comments:
Post a Comment